Musim
kemarau.
Hari
itu sekolah dipulangkan lebih awal karena rapat guru, dan tak ada tugas
sekolah, tentu senang rasanya bagi siswa SMA yang biasa disibukkan oleh kegiatan
belajar. Dengan niat untuk mencari buku catatan tahun lalu, kubongkar
kardus-kardus di gudang. Salah satunya menarik perhatianku. Tampaknya kardus
kecil itu berisi barang milik Mama. Belum pernah kulihat benda-benda itu. Buku-buku
milik Mama, album-album foto ketika Mama masih muda, dan segala hal tentang
Mama. Salah satu buku menarik perhatianku. Sampulnya terbuat dari kain krem
bermotif bunga, cantik sekali. Kubuka kancing buku itu, terlihat tulisan tangan
Mama di sana. Astaga, buku harian Mama.
Tergelitik
untuk membaca isinya, aku membawanya ke kamar dan melupakan niatan awalku.
Kubaca lembar-lembar awal buku itu, berisi tentang cerita sehari-hari Mama,
sedih, lucu, dan segala tentang perasaan Mama. Penasaran sekaligus takjub rasanya
melihat tulisan-tulisan Mama. Secara acak kubuka bagian halaman lain, di sana hanya
tertulis satu kalimat :
Ayah...aku mencintainya, demi Allah, aku mencintainya...
Kaget
ketika membacanya. Rasanya jantung ini berdegup sangat kencang. Apakah Mama
jatuh cinta? Pada siapa? Apakah Papa?
Tak sempat
kulanjutkan membaca karena mendengar suara Mama yang baru pulang kerja.
Kusimpan buku itu dan berniat untuk melanjutkan membaca nantinya. Rasa penasaran
terus mengusikku, tapi tak berani menanyakannya langsung pada Mama. Mama mungkin
tidak ingin menceritakannya.
Malam
itu juga, kubuka kembali buku harian Mama. Kubuka kembali halaman tadi. Kubolak-balik
halaman demi halaman. Benar, sepertinya Mama sedang jatuh cinta dengan
seseorang. Seseorang yang santun dan ulet, jika kusimpulkan dari tulisan Mama.
Tampaknya perasaan Mama sangat bahagia ketika menuliskan kata demi kata tentang
orang yang dicintainya itu. Aku dapat turut merasakan kebahagian Mama ketika
itu.
Tapi
sepertinya kebahagiaan itu pupus ketika kubaca halaman lain.
Aku tahu dirimu ingin yang terbaik bagiku, Ayah, tapi aku mencintai seseorang. Mengapa dirimu masih berkeras menjodohkanku?Aku tak sanggup menentangmu Ayah, sungguh aku tak sanggup. Aku tak mampu membalas kata-katamu Ayah. Aku hanya diam. Tapi tidakkah Ayah dapat melihat air mata penolakanku?
Tampaknya
perasaan Mama kala itu sangat terluka. Ayahnya, atau orang yang semestinya
kupanggil “Kakek” dan belum pernah kutemui selama ini, tidak merestui Mama dan
orang yang dicintainya. Sebegitu sakitkah jika cinta itu dilarang? pikirku.
Pada
salah satu halaman terselip kertas lama yang tampaknya adalah sepucuk surat. Ditulis
dengan tinta hitam dan terlihat menembus kertas yang tampak menguning termakan
usia. Aku terkejut ketika mengetahui bahwa surat itu berasal dari seseorang
yang dicintai Mama. Tulisan tangannya tampak kasar dan tegas.
Untuk dinda yang kusayangi, Dirimu tentu tahu, dulunya aku tak lebih dari seorang pemuda pemabuk. Keluargaku berantakan, dan hidupku tidak jelas. Namun dirimu telah mengubahku, mengubah hidupku. Aku tahu, aku tidak pantas mencintai putri seorang terhormat, yang shalehah dan terpelajar sepertimu. Tapi perasaan itu tidak dapat kubendung, membuatku semakin ingin membenahi diri dan bertobat, agar layak mendapatkan dirimu. Walaupun kecil harapannya untuk mendekatimu, tapi saat itu setidaknya aku berusaha untuk menjadi baik, sehingga nantinya akan mendapatkan pasangan yang sebaik dirimu.Tak disangka Allah memberi jalan kepadaku. Aku begitu bersyukur telah mengenalmu. Dan lebih bersyukur lagi jika saja aku dapat menjadikanmu bidadari surgaku. Aku ingin meminangmu, menjadikanmu istri yang berbahagia. Aku akan menemui ayahmu, tunggulah aku, bersabarlah, aku akan melamarmu. Jika Tuhan mengizinkan kita berjodoh, insyaallah niatanku akan diberi jalan.
Salam dan doa untukmu.Kanda,
Bergetar
rasanya ketika membaca surat itu. Luluh rasanya. Air mata mengalir begitu saja
di pipiku. Keberanian dan romantisme tersirat dari surat usang itu.
Alhamdulillah..terima kasih Ayah, walaupun aku tahu, masih ada kekesalan di raut wajahmu. Aku sangat berterima kasih engkau bersedia menikahkanku dengannya. Putrimu ini akan menjadi istri yang shalehah yang menaati suami dan akan menjadi ibu yang baik bagi anak-anakku kelak. Ayah tidak perlu khawatir, aku berjanji.
Akhirnya
Mama menikah dengan orang yang dicintainya itu, yang didambakannya, Papa. Aku
terhanyut membaca gejolak perasaan yang tersirat dari setiap baris di buku itu.
Lalu sedikit banyak aku mulai tahu alasan berbagai hal yang membuatku
bertanya-tanya selama ini. Seperti mengapa aku tak pernah bertemu keluarga
Mama.
Hatiku tergores mendengar perkataanmu Ayah. Apakah benar engkau tidak ingin melihatku lagi Ayah? Aku sadar kesalmu dalam diam selama beberapa saat yang lalu belum padam, tapi tidakkah ini terlalu menyakitkan? Masih sebegitu kesalkah Ayah walaupun sudah menikahkanku?Hari ini kutatap wajah Ayah yang tegas tak ingin memandangku. Masih terngiang di telingaku suara isak tangis keluarga yang kusayangi, ibu dan adik-adik, yang mengiringi kepergianku bersama suami yang kucintai.
Seberat
inikah keputusan yang harus diambil ketika cinta menghampiri diri kita?
Sebegitu rumitkah perasaan itu?
Sempat
kutengok halaman terakhir buku itu sebelum menutupnya. Hatiku tergetar
membacanya.
Belum genap 2 tahun usia anak kita, tapi Allah telah memanggilmu. Rasanya aku belum bisa percaya. Air mata ini belum mengering.Aku akan kuat, aku akan membesarkan Nana agar menjadi anak yang cerdas dan beragama seperti cita-citamu.Terima kasih telah menjadi imamku. Terima kasih atas segala kasih sayangmu.
Aku menyayangimu, wahai cinta pertamaku.
Mama
sudah tertidur lelap, tampak kelelahan. Aku ikut berbaring di sampingnya,
mendekapnya. Mama..sebegitu cintakah engkau kepada Papa? Anakmu ini belum cukup
dewasa, belum pernah merasakan perasaan yang sepertinya meluap-luap itu. Apakah
benar begitu indah sehingga engkau sangat sulit melepasnya? Terima kasih Mama,
untuk cintamu kepada Papa, untuk cintamu kepadaku. Terima kasih telah
membesarkanku dengan penuh kasih sayang walau tanpa Ayah di sampingmu.
Malam
itu kudekap erat Mama, berjanji tidak akan berhenti mencintainya.
Aku menyayangimu,
wahai cinta pertamaku, Mama.
No comments:
Post a Comment